KAIDAH SOSIAL DAN KAIDAH HUKUM

10.06 Edit This 0 Comments »

BAB II

PEMBAHASAN

KAIDAH SOSIAL DAN KAIDAH HUKUM

A.Individu, Masyarakat, dan Hukum

Manusia pada dasarnya adalah makhluk social, Hidup bermasyarakat memiliki konsekuensi tersendiri bagi individu-individu yang menjadi anggota kelompok tersebut. Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka satu kesatuan social dengan batas-batas yang dirmuskan dengan jelas.[1]

Sebagai makhluk social yang berinteraksi dalam masyarakat, kehidupan manusia meniscayakan adanya hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Menurut Elwood, bahwa yang menyebabkan manusia cenderung hidup berkelompok atau bermasyarakat ialah karena adanya dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam kodrat manusia itu sendiri, seperti hasrat untuk emmenuhi kebutuhan makan dan minum, hasrat membela diri, hasrat untuk mengembangkan keturunan.[2]

Dalam masyarakat terdapat pelbagai golongan dan aliran, namun walaupun golongan dan aliran itu beraneka ragam dan masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri, akan tetapi kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban dalam kehidupan masyarakat itu.

Adapun yang memimpin kehidupan bersama, yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, ialah peraturan hidup.

Agar supaya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan aman tenteram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia perlu adanya suatu tata (orde = ordnung). tata itu berwujud aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat terpeliihara dan terjamin. setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing.[3]

Menurut sosiologi kelompok social/masyarakat memiliki beberapa persyaratan:

1. Adanya kesadaran dari setiap anggota kelompok bahwa dia adalah bagian dari kelompoknya.

2. Antara anggota yang satu dengan yang laen terjadi hubungan timbale balik yang saling mempengarui sesamanya.

3. Anggota-anggota kelompok memiliki factor yang sama yang menyebabkan hubungan mereka menjadi erat, factor tersebut biasanya disebut solidaritassosial atau (setia kawan) yang dapat berupa: persamaan nasib, kepentingan yang sama, dan tujuan yang sama, termasuk ideology yang sama.

Jadi masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka, dan menganggap diri mereka satu kesatuan social dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.[4]

B.Pengertian Kaidah atau Norma

Kaidah secara etimologi berasal dari bahasa arab yang berarti dasar, fondasi, peraturan, kaidah ( norma ) dan prinsip[5]. Dalam kajian ilmu hokum, kaidah lebih diartikan dengan peraturan atau norma. Menurut terminologi, Hans Kelsen Sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa Kaidah adalah “That something ought to happen,expecially that a human being to behave in a specific way” (Sesuatu yang seharusnya dilakukan, terutama bahwa nabusia harus bertingkah laku menurut cara tertentu.)[6]

Sementaranitu menurut Purnadi Purbacakara, Kaidah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berprilaku atau bersikap tindak dalam hidup.[7]

Sedangkan menurut Soedjono Dirdjosisworo, kaidah atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang baik buruk perilaku manusia di tengan pergaulan hidupnya, dengan menentukan perangkat-perangkat ataun penggal-penggal aturan yang bersifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan.[8]

Jadi dapat kita simpulkan bahwa kaidah atau norma adalah merupakan pedoman yang berupa peraturan-peraturan tentang cara berperilaku atau bertindak yang seharusnya atau sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam bermasyarakat atau keadaan tertentu.

Atas dasar definisi diatas, maka kaidah atau norma sangat berguna untuk member petunjuk pada manusia bagaimana harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankan dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari sehingga akan terwujud kedamaian dan ketertiban dalam masyarakat.

Kaidah atau norma menurut isinya ada dua macam:

1. Perintah ; yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik.

2. Larangan ; yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik.[9]

Dalam kaitan ini,sistim hokum islam memilikiLima kaidah atau norma yang digunakan sebagai patokan dalam mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah (hubungan cinta kasih dengan Tuhan ) maupun muamalah (hubungan antar manusia), Kelima Kaidah tersebut, biasa dikenal dengan istilah ahkam al-khamsah (ketentuan hokum yang lima), yaitu jaiz atau mubah (boleh),sunnah, makruh, wajib, dan haram.

C.Jenis-jenis Kaidah

Sebagaimana di sebutkan diatas bahwa kaidah merupakan patokan atau pedoman untuk hidup.sementara itu kehidupan manusia secara umum dapat dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek hidup pribadi dan hidup antar pribadi (transpersonal atau interpersonal). Untuk aspek hidup pribadi diatur melalui kaidah:

1. Kaidah kepercayaan atau agama yang berguna untuk mencapai kesucian pribadi atau kehidupan beriman (devout life).

2. kaidah-kaidah kesusilaan (sittlichkeit, moral/etika dalam arti sempit) yang berguna untuk kebaikan pribadi atau kebersihan hati nuranidan akhlak

Sedangkan untuk aspek hidup antar pribadi diatur melalui kaidah:

1. kaidah kesopanan (sitte) yang dimaksud untuk mencapai kesedapan hidup besama (pleasant living together)

2. kaidah hokum yang dimaksudkan untuk mencapai kedamaian hidup bersama (peaceful living together).[10]

Dengan demikian, dalam hidup manusia dikenal adanya 4 macam kaidah yang mengaturnya, yaitu:

1. Kaidah Agama

2. Kaidah kesusilaan

3. Kaidah Kesopanan

4. Kaidah Hukum

Keempat kaidah ini menurut Achmad Ali disebut juga dengan kaidah social.[11]

Untuk lebih jelasnya keempat kaidah diatas dapat di uraikan dibawah ini:

1. Kaidah Agama

Kaidah agama adalah aturan tingkah laku yang berupa perintah-perintah,larangan larangan,dan anjuran yang diyakini oleh penganutnya sebagai bersal dari Tuhan.[12]

para pemeluk agama mengakui dan berkeyakinan, bahwa peraturan-peraturan hidup berasal dari tuhan dan merupakan tuntunan hidup ke jalan yang benar. Oleh karena itu kaidah agam memiliki nilai-nilai fundamental yang mewarnai berbagai kaidah social yang lain, seperti kaidah kesusilaan, kesopanan, dan hokum.[13]

kaidah agama itu bersifat umum dan mendunia (universal karena itu ia berlaku bagi seluruh golongan manusia di dunia ini). ibid

Pelanggaran terhadap kaidah agama akan mendapatkan sanksi berupa siksa di neraka, namun demikian, dalam kaidah agama islam bila kaidah agama tersebut kemudian di lembagakan menjadi kaidah hokum maka dapat dikenakan sanksi dunia. Misalnya: Hukuman bagi pencuri menurut agama islam adalah dipotong tangannya, maka apabila aturan ini dijadikan kaidah hokum yang berlaku (hokum positif) maka hukuman tersebut harus dijalankan seperti yang tertulis dalam kaidah agama. Bila tidak dijalankan hukuman potong tangan ini maka pelakunya mendapatkan sanksi diakhirat (neraka).

2.Kaidah Kesusilaan

Kaidah-kaidah kesusilaan dalam arti yang sempit dipakai dalam pengertian etika atau moral.[14] Namun disini pengertiannya lebih pada etika atau moral yangterkait langsung dengan kehidupan pribadi, yaitu yang khusus mengenai hati nurani seorang individu ditengah pergaulan dengan sesamanya, atau berupa patokan-patokan mengenai hasrat rohaniah yang tidak namapak.[15]

Oleh karena kaidah itu, kaidah kesusilaan ini bersifat otonom, artinya diikuti atau tidak diikuti aturan tingkah laku tersebut tergantung pada hati nurani/sikap batin masing-masing individu manusia.Dengan demikian, pelanggaran terhadap kaidah ini akan menyebabkan batin atau nurani seseorang akan merasa tersiksa dan timbul penyesala diri.

Kaidah kesusilaan ada yang bersifat actual dan ada yang bersifat fundamental. Yang bersifat actual misalnya; jangan iri hati, jangan todak senonoh, jangan membenci, jangan memfitnah dll. Sedangkan yang fundamental yang merupakan dasar dari kaidah-kaidah tersebut adalah pandangan tentang perilaku atau sikap tidak tindak bahwa sesorang harus bersih hatinya, baik akhlaknya ,berjiwa luhur sebagai pancaran untuk dapat bersusila dalam pergaulan hidup.

Sebagaimana kaidah agama, kaidah kesusilaan inipun bersifat umum dan universal,dapat diterimaoleh umat manusia.[16]

3.Kaidah Kesopanan

Kaidah kesopanan yang dalam kegidupan sehari-hari dikenal dengan istilah tatakrama adalah peraturan hidup yang timbul dari pergaulan segolongan manusia dalam masyarakat.

Oleh karena itu, tolok ukur dari kaidah ini adalah kebiasaan, kepatuhan, dan kepantasan yang berlaku di masyarakat. Kaidah kesopanan ini diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia yang ada disekitarnya. Satu golongan manusia tertentu dapat menetapkan peraturan-peraturan tertentu mengenai kesopanan, yaitu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat itu. Dengan demikian, kaidah kesopanan tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang luas,jika dibanding dengan kaidah agama dan kesusilaan.

Seperti misalnya: Di alam minangkabau kita menjumpai tiga luhak. pengertian luhak ini berhubungan dengan daerah (territorial) tertentu.[17]

Dalam Ajaran Islam, kaidah kesopanan yang menjadi kebiasaan yang berlaku dimasyarakat tertentu dapat diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran akhlak dalam islam. Bahkan dalam hokum islam dikenal dengan konsep urf, yaitu sesuatu perbuatan atauperkataan yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan hokum islam selama tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.[18]

4.Kaidah Hukum

Kaidah hukum ialah peraturan-peraturan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Negara, berlaku dan dipertahankan secara paksa oleh alat-alat Negara seperti pisi, jaksa, hakim dan sebagainya.[19]

Dengan demikian memaksa merupakan sifat khas dari kaidah atau norma hokum meskipun demikian, memaksa tidak dapat diartikan sebagai kesewenang-wenangan, sebab paksaan disini dimaksutkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat yang berarti pula kepentingan-kepentingan setiap anggota masyarakat yang berada pada masyarakat yang bersangkutan. Tindakan ini diperlukan karena tindakan tersebut tidak bisa diserahkan kepada kehendak baik setiap anggota masyarakat semata-mata. Dalam tata hokum paksaan harus digunakan untuk menjamin di taatinya peraturan-peraturan yang sangat dibutuhkan dalam melaksanakan kepentingan-kepentingan yang justru merupakan kerangka acuan tata hokum itu sendiri.Ibid

Ada dua alas an utama mengapa ketiga kaidah social selain kaidah hokum tersebut dinilai tidak mampu menjamin ketertiban masyarakat:

1. Masih banyak hal-hal penting guna menjaga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat yang tidak diatur dalam ketiga norma tersebut, seperti lawangan berkendaraan di sebelah kanan, aturan-aturan dalam lalu lintas di jalan, urusan bank perseroan terbatas dan lain-lain.

2. Ketiga kaidah social tersebut tidak memiliki sanksi yang tegas jika salah satu dari peraturannya dilanggar. memang pelanggaran terhadap norma agama diancam dengan hukuman dari Tuhan dan ini berlaku diakhirat, pelanggaran kaidah kesusilaan atau moral mengakibatkan cemas dan sesal hati bagi pelanggaran yang insaf, demikian juga pelanggaran terhadap kaidah kesopanan akan mengakibatkan celaan atau pengasingan dari lingkungan masyarakat. Namun demikian, sanksi atau hukumanseperti itu tidak akan efektif karena tidak semua orang bahkan banyak orang yang tidak mengenal dan memberikan perhatian atau memperdulikan terhadap agama, kesusilaan dan kesopanan.

Atas dasar kedua alasan diatas, maka diperlukan adanya suatu peraturan lain yang dapat menegakkan tata hidup masyarakat, yaitu jenis peraturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi-sanksi yang tegas, serta dilaksanakan dan dipertahankan oleh alat-alat Negara. peraturan inilah kemudian dikenal dengan sebutan kaidah hokum.

D.Hukum Sebagai Kaidah

1.Proses lahirnya Kaidah Hukum

Kaidah hokum yang merupakan bagian dari kaidah social lahir adakalanya berbentuk tulisan dan ada pula dalam bentuk yang tidak tertulis.Yang tertulis adakalanya dianggap bersumber dari Tuhan, seperti hokum dalam Al-Quran,Injil, Taurat,Zabur Dll. Atau yang bersumber dari pemegang otoritas tertinggi, seperti Undang-undang dasar dan peraturan lainnya.

Sedangkan dilihat dari asal usul kaidah hokum tersebut pada pokoknya dapet dibedakan menjadi 2:

a. Kaidah hokum yang berasal dari kaidah-kaidah social lainnya di dalam masyarakat, yang dalam istilah Paul Bohannan dinamakan kaidah hokum yang berasal dari proses double legitimacy atau pemberian legitimasi ulang dari kaidah social non hokum (agam,kesusilaan/moral,dan kesopanan menjadi suatu kaidah hokum). Misalnya, Larangan membunuh, larangan mencuri, larangan menipu, dll. kemudian melauli proses double legitimacy (pemberian legitimasi ulang larangan-larangan tadi dijadikan pula sebagai kaidah hokum yang tertuang dalam kitan Undang-undang Hukum pidana (KUHP) Indonesia pasal 262, 338, 285 dan lain-lain.

b. Kaidah hokum yang diturunkan dari otoritas tertinggi (dalam konteks Indonesia berasal dari penyelenggara Negara baik eksekutif (presiden) maupun legislative (DPR) ).Sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu, dan langsung terwujud dalam wujud kaidah hokum, serta sama sekali tidak berasal dari jaidah social lainnya (non hokum), contohnya undang-undang lalu-lintas dan angkutan jalan, Undang-undang Perseroan dan lain-lain.[20]

2.Unsur Sanksi dalam Kaidah Hukum

Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa yang membedakan kaidah hokum dengan kaidah social lainnya (non hokum) adalah adanya sanksi yang tegas yang didukung otoritas tertinggi dalam masyarakat.Berhubungan dengan itu, Achmad Ali mengatakan bahwa ada 4 atribut (sifat) hokum yang membedakannya dengan kaidah social non hokum:

a. Attribut of Authority yaitu bahwa hokum merupakan keputusan-keputusan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam masyarakat, keputusan-keputusan mana yang ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan yang ada dimasyarakat.

b. Attribut of intention of Unibersal application yaitu bahwa keputusan-keputusan yang mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa yang akan datang.

c. Attribut of obligation yaitu bahwa keputusan-keputusan pengawasan yang harus berisi kewajiban-kewajiban pihak pertama terhadap pihak kedua dan sebaliknya,Dalam hal ini semua pihak harus dalam keadaan hidup.

d. Attribut of Sanction; yang menetukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi, yang didasarkan pada kekuatan masyarakat yang nyata.Ibid

3.Unsur-unsur Kaidah hokum

kaidah hokum merupakan salah satu kaidah social yang memilikikelebihan dari segi efektifitas berlakunya dibandingkan dengan kaidah social lainnya, Berkaitan dengan kepatuhan masyarakat terhadap hokum sebagai pencerminan dari berlakunya hokum ada beberapa ajaran hokum yang mendukungnya, yaitu:

a. Juristische GeltungSlehre

Ajaran ini mengatakan bahwa hokum adalah himpunan kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan semata-mata, baik dalam bentuk undang-undang mauun dalam bentuk perjanjian dan ia akan berlaku dan dipatuhi kalau dibuat oleh badan atau orang yang berwenang.

b. Philosophische Geltungslehre

Ajaran ini mengatakan bahwa disamping itu peraturan-peraturan tersebut memenuhi filsafat hidup, yang mempunyai nilai tinggi bagi kemanusiaan.

c. Sosiologische Geltungslehre

Ajaran ini mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan hanya akan berlaku secara positif (hokum positif), jika diterima dengan baik dan diikuti secara nyata dalam masyarakat oleh orang-orang yang dikenakan kaidah-kaidah tersebut.[21]

Oleh karena itu, dalam rangka pembuatan Undang-undang, peraturan pemerintah pengganti UU, Peraturan Pemerintah,Peraturan Daerah, Surat keputusan ,dan jenis perundang-undangan lainnya, harus memperhatikan ketiga landasan tersebut diatas, Yaitu landasan Yuridis, Filosofis, dan sosiologis.

Di Indonesi ketiga landasan tersebut selalu menjadi pertimbangan dalam merumuskan peraturan perundang undangan.

a. Landasan Yuridis

Dalam hal ini Undang-undang Dasar 1945 menjadi landasan Yuridis bagi pembuatan peraturan perundang-undangan dibawah nya seperti peraturan pemerintah pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Surat keputusan, dan jenis peraturan perundang-undangan lainnya.

Landasan yuridis ada dua macam yaitu:

1. Landasan yuridis formil, yaitu landasan yuridis yang memberikan wewenang kepada instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu pula, contohnya pasal 5 ayat1 UUD 1945 menjadi landasan yuridis dari segi formilbagi presiden untuk membuat Undang-undang, dan pasal 20 ayat 1 menyatakan bahwa setiap UU harus mendapat persetujuan DPR, Artinya setiap produk per-undang-undang yang bukan produk bersama DPR dan Presiden adalah batal demi hokum.

2. Landasan Yuridis Materiil, Yaitu landasan yuridis dari segi isi (materi) sebagai dasar hokum untuk mengatur hal-hal tertentu, contohnya: pasal 18 UUD 1945 menjaid landasan yuridis dari segi materiil untuk membuat Undang-undang organic mengenai pemerintahan daerah (ditetapkan dengan undang-undang). Maka dalam bentuk undang-undanglah hal itu diatur, kalau diatur dalam bentuk lain misalnya dengan keputusan dengan keputusan Presiden maka keputusan Presiden tersebut dapat Dibatalkan.

Selanjutnya, atas dasar landasan yuridis materiil ini, maka sesuatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hans Kelsen mengatakan bahwa setiap kaidah hokum harus berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.

b. Landasan Filosifis

Yaitu dasar filsafat, Pandangan, Ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintah) kedalam suatu rencana (draft) peraturan negara. Di negara Indonesia, landasan Yuridis yang dipaki adalah pancasila. dengan demikian, setiap pembentukan hokum atau peraturan perundang-undangan harus memperhatikan sungguh-sungguh rechtsidee yang terkandung dalam pancasila.

c. Landasan Sosiologis

Yaitu yang mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. dengan dasar sosiologis ini diharapkan hokum yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan, hanya dengan cara seperti inilah hokum akan memliliki daya berlaku yang efektif. misalnya dalam masyarakat yang religious maka undang-undang yang dibuat harus tidak bertentangan dngan agama yang dianut masyarakat.[22]

Dalam sistem hokum islam, setiap perundang-undangan yang dibuat secara yuridis dan filosofis, harus tidak boleh bertentangan dengan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah. akan tetapi, apabila dalam nash kedua sumer hokum tersebut tidak ditemukan secara jelas (eksplisit) ketentuan hokum yang mengaturnya maka peraturan perundang-undangan yang dibuat harus selaras dengan maqasit al-syari’ah yaitu maslahah yang menjadi tujuan hokum islam. Murut AL-Ghazali, sesuatu dikatakan maslahah bila ia melindungi agama,jiwa,akal,keturunan,dan harta.

Sedangkan berkaitan dengan landasan sosiologis yang menjadi pertimbangan pembentukan hokum, dalam kaidah hokum Islam dinyatkan bahwa “Hukum (fatwa) dapat berubah seiring dengan perubahan waktu, tempat, adat-istiadat, dan sarana prasarana”. (ta ghayyirul ahkam bitaghayyiril zaman wal makan wal’adah,wal aalah).ini berarti bahwa hokum islam sangat menghargai aspek dinamika perubahan masyarakat seiring dengan perubahan waktu, kondisi lokalitas, adat-istiadat, dan keberadaan sarana prasarana pendukung tegaknya suatu ketentuan hokum. bahkan dalam prinsip dasar hokum islam, terdapat prinsip”pelaksanaan hokum secara garadual ( at-tadarruj f al-hukm) dimana hokum islam harus diterapkansesuai dengan kesiapan masyarakat yang menjadi pelaku (subyek) hokum. semua ketentuan tersebut tidak lain agar hokum Islam dapat diterima oleh masyarakat secara wajar dan spontan sehingga keberlakuan dapat berjalan secara efektif.



[1] (Ralpl: Linton).Drs Sudarsono .SH. Pengantar Ilmu Hukum, h. 65

[2] (pipin syarifin,pengantar ilmu hukum, (bandung: Pustaka setia, 1999), h.40.

[3] Drs C.S.T Kansil S.H Pengantar ilmu hokum dan tata hokum di Indonesia, hal 82.

[4] (Ralph:Linton).Drs Sudarsono, pengantar ilmu hukum.h.65-66.

[5] Atabik Ali, kamus kontemporer arab-indonesia, (Yogyakarta: PP. Krapyak, t.th), Cet.5, h. 1423.

[6] Soerjono Soekanto, Kesadaran hokum dan kepatuhan hokum, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), h. 31.

[7] Purnadi Purbacakara,Peihal kaidah hokum, (Bandung: Penerbit Alumni,1979) h. 14.

[8] Soedjono Dirdjosisworo, pengantar ilmu hokum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) h. 36.

[9] C.S.T Kansil. pengantar ilmu hokum dan tata hokum Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1986) cet.7 h.82

[10] Purnadi Purbacaraka,perihal kaidah hokum, (Bandung: Penerbit Alumni,1979), h. 16.

[11] Achmad Ali,menguak tabir hokum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), (Jakarta: Chandra Pratam,1986) cet.1, h.51.

[12] C.S.T Kansil,Op. Cit, h.84.

[13] Soedjono Dirdjosisworo, Op. Cit, h.40.

[14] Purnadi purbacaraka.Op. Cit,h.24

[15] Soedjono dirdjosisworo,Op. Cit,h.39.

[16] C.S.T Kansil, Op.Cit, h.85.

[17] Chairul Anwar, hokum adat Indonesia (meninjau hokum adat minangkabau), (Jakarta: Anggota IKAPI, 1997) h.52. Dan masyarakat jawa dikenal dengan gemah ripah loh jinawe.

[18] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Diktat Perkuliahan Ushul Fiqh Pendidikan Kader Ulama Angkatan Ke-8 Majelis Ulama Indonesia, 1998)h. 54.

[19] Ipin Syarifin, Op. Cit, h.63.

[20] Ahmad Sukardja, Piagam madinah dan undang-undang dasar 1945, (Jakarta: UI Press, 1995), h.4-5

[21] Ipin Syarifin Op. Cit, h.54-55

[22] Ibid, h.55-57

0 komentar: