waQaf

09.56 Edit This 0 Comments »

1.       Wakaf menurut Abu Hanifah dan sebagian ulama Hanafiyah: Menahan benda yang statusnya masih tetap milik Waqif (orang yang mewakafkan hartanya), sedangkan yang dishadakahkan adalah manfaatnya
2.       Wakaf  menurut Malikiyah: Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilya untuk diserahkan kepada yang berhak, dengan penyerahan berjangka waktu sesuai dengan kehendak Waqif”.
3.       Wakaf menurut Syafi’iyah : “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya disertai dengan kekekalan benda, dan harta itu lepas dari penguasaan waqif, serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama”. 
4.       Wakaf menurut Hanabilah: “Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfat disertai dengan kekekalan benda serta memutus semua hak              wewenang atas benda itu, sedangkan manfaatnya dipergunakan dalam hal kebajikan untuk mendekatkan diri kepada Allah”.

Dari paparan tersebut dapat diambil pengertian bahwa :
  1. Harta wakaf lepas/putus dari hak milik waqif, kecuali pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.
  2. Harta wakaf harus kekal, kecuali pendapat Malikiyah yang mengatakan bahwa boleh mewakafkan sesuatu, walaupun akan habis dengan sekali pakai, seperti makanan.
  3. Yang dishadaqahkan hanyalah manfaatnya saja.
        Abu Hanifah dan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa harta wakaf masih tetap menjadi hak milik waqif,
“ Dari Ibn Abbas, ia berkata : “Ketika ayat tentang faraid dalam surat al-Nisa’ diturunkan, maka Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada penahanan harta (wakaf) setelah turunnya surat al-Nisa’ “(HR al-Baihaqi dari Ibnu Abbas).
Wakaf adalah suatu perbuatan hukum, oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus diperhatikan tentang syarat dan rukunnya. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun wakaf ada 4 (empat):
  1. Waqif (Orang yang mewakafkan hartanya).
  2. Mauquf (Barang yang diwakafkan).
  3. Mauquf ‘alaih (Tujuan wakaf/orang yang diserahi untuk mengelola harta wakaf).
  4. Sighat / Contract statement ( Pernyataan waqif untuk mewakafkan hartanya ).[1]
  1. Syarat Waqif ( Dedicator of endowment )

                Karena wakaf merupakan perbuatan hukum dari suatu ibadah, maka pelakunya harus orang yang ahliyah al-tabarru’, yaitu orang yang cakap bertindak atas namanya sendiri, tanpa ada paksaan dan tidak berada di bawah pengampuan ( al-mahjur ‘alaih ).
                Para fuqaha’ berbeda pendapat dalam memberikan syarat waqif sebagai berikut :
1.       Syarat-syarat waqif menurut Hanafiyah: Waqif hendaknya orang yang cakap bertabarru’, yaitu orang yang merdeka, dewasa dan berakal. Oleh karena itu, wakaf anak kecil baik mumayyiz atau tidak, orang gila dan orang yang ediot, batal (tidak sah) wakafnya, karena tidak cakap bertabarru’ “.
2.       Syarat waqif menutut Malikiyah: Waqif disyaratkan: Orang dewasa, berakal, rela, sehat, tidak berada di bawah pengampuan dan sebagai pemilik harta yang diwakafkannya“.
3.       Syarat-syarat waqif menurut Syafi’iyah: Waqif hendaknya orang yang cakap bertabarru’, maka dari itu tidak sah                 wakaf  anak kecil, orang gila, orang bodoh/boros dan budak mukatab”.
4.       Syarat-syarat waqif menurut Hanabilah : “ Pertama: Pemilik harta, maka dari itu tidak sah wakaf orang yang mewakafkan hak milik orang lain, tanpa seizin pemiliknya, Kedua: Orang yang diperbolehkan membelanjakan hartanya, oleh karena itu tidak sah wakaf orang yang berada di bawah pengampuan dan orang gila, Ketiga: Orang yang mengatasnamakan orang lain, seperti orang yang menjadi wakil orang lain”.
  1. Syarat Mauquf ( Dedicated endowment )
                Harta yang diwakafkan dipandang sah, bila harta tersebut memenuhi lima syarat, yaitu:
  1. Harta itu bernilai
  2. Harta itu berupa benda tidak bergerak (‘uqar)/benda bergerak (manqul)
  3. Harta itu diketahui kadar dan batasannya
  4. Harta itu milik waqif
  5. Harta itu terpisah dari harta perkongsian atau milik bersama
                Pada dasarnya para fuqaha sepakat dengan lima syarat tersebut di atas, akan tetapi mereka punya strassing tertentu dalam menentukan persyaratan harta yang akan diwakafkan.
Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan:
                a. warga negara Indonesia;
                b. beragama Islam;
                c. dewasa;
                d. amanah;
                e. mampu secara jasmani dan rohani; dan
                f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.


  1. Syarat Sighat (Contract Statement)

                Pernyataan wakaf (sighat) sangat menentukan sah/batalnya suatu perwakafan. Oleh karena itu, pernyataan wakaf harus tegas, jelas kepada siapa ditujukan dan untuk keperluan apa.
                Dari definisi-definisi wakaf sebagaimana tersebut di atas, dapat diambil pengertian bahwa sighat harus:
                1. Jelas tujuannya.
                2. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
                3. Tidak tergantung pada suatu syarat, kecuali syarat mati.
                4. Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang     sudah dilakukan.











Hukum Islam dan Perubahan Sosial

01.24 Edit This 0 Comments »

Hukum Islam dan Perubahan Sosial

I. Perubahan Sosial

Istilah adaptabilitas, segera berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial. Perubahan sosial disini jelas bukan merupakan istilah teknis yang “tranformasi sosial” istilah ini lebih diperguanakan dalam pengertian umum untuk menandai bahwa perubahan dalam persoalan itu telah terjadi dalam rangka merespon kebutuhan-kebutuhan sosial.[1]

Kebutuhan-kebutuhan sosial yang berhubungan dengan hukum misalnya, sangat terkait dengan dua aspek kerja hukum dalam hubungannya dengan perubahan sosial:

  1. Hukum sebagai sarana kontrol sosial: sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang atau masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan harapan hukum yang sebenarnya.
  2. Hukum sebagai sarana kontrol engineering : penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita dan perubahan yang diinginkan.[2]

Suatu perubahan dapat diketahui jika ada sebuah penelitian dari susunan kehidupan masyarakat pada suatu waktu dengan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, lapisan-lapisan dalam masyarakat dsb.

Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Dapat dikatakan kalau konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan, (2) pada waktu berbeda, dan (3) diantara keadaan system sosial yang sama.[3]

Sebagai suatu pedoman, maka dapat dirumuskan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[4]

II. Perubahan Dalam Hukum Islam

Hubungan teori hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu problem dasar bagi filsafat-filsafat hukum. Hukum yang karena memiliki hubungan dengan hukum-hukum fisik yang diasumsikan harus tidak berubah itu menghadapi tantangan perubahan sosial yang menuntut kemampuan adaptasi dirinya. Seringkali benturan perubahan sosial itu amat besar sehingga mempengaruhi konsep-konsep dan lembaga-lembaga hukum, yang karenanya menimbulkan kebutuhan akan filsafat hukum Islam.

Argumen bahwa konsep hukum Islam adalah absolute dan otoriter yang karenanya abadi, dikembangkan dari dua sudut pandang. Pertama mengenai sumber hukum Islam adalah kehendak Tuhan, yang mutlak dan tidak bisa berubah. Jadi hal ini pendekatan ini lebih mendekati problem konsep hukum dalam kaitan perbedaan antara akal dan wahyu. Yaitu: (1) hukum dan teologi, (2) hukum dan epistemology. Sudut pandang kedua berasal dari difinisi hukum Islam, bahwa hukum Islam tidak dapat diidintifikasi sebagai system aturan-aturan yang bersifat etis atau moral. Jadi hal ini membicarakan kaitan perbedaan antara hukum dan moralitas.

Argumen-argumen yang dikemukakan oleh para pendukung keabadian Islam diringkaskan dalam tiga pernyataan umum:

  1. Hukum Islam adalah abadi karena konsep hukum yang bersifat otoriter, ilahi dan absolute dalam Islam tidak memperoleh perubahan dalam konsep-konsep dan institusi-institusi hukum. Sebagai konsekuwensi logis dari konsep ini, maka sanksi yang diberikannya bersifat ilahiyah yang karenanya tidak bisa berubah.
  2. Hukum Islam adalah abadi karena sifat asal dan perkembangannya dalam priode pembentukannya menjauhkannya dari institusi-institusi hukum dan perubahan sosial, pengadilan-pengadilan dan Negara.
  3. Hukum Islam adalah abadi karena ia tidak mengembangkan metodologi perubahan hukum yang memadai.[5]

Dalam literature hukum Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekontruksi, rekontruksi, tarjid, islah dan tajdid. Diantara kata-kata itu yang paling banyak digunakan adalah kata-kata islah, reformasi, dan tajdid. Islah dapat diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki, reformasi berarti membentuk atau menyusun kembali, tajdid mengandung arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyususn kembali atau memperbaikinya agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan.[6]

Masyarakat senantiasa mengalami perubahan, dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, social ekonomi dan lainnya. Menurut para ahli linguistic dan sematik, bahasa akan mengalami perubahan sehingga diperlukan usaha atau ijtihad. Tentu kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti. Namun, ini berarti bahwa hukum tidak akan berubah begitu saja, tanpa memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber utama hukum islam yaitu al-Quran dan Sunnah. Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah dilaksanakan dari masa ke masa.[7]

Pendekatan secara historis, untuk memahami sifat dasar hukum Islam telah menyatakan hal-hal sebagai berikut, sebagai ciri khas hukum Islam:

  1. Sifat idealistik
  2. Religious
  3. Kekakuan
  4. Sifat kausistik

III. Ijtihad, ( Intiqa’I dan Insya’I )

Pembaruan hukum Islam telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta dengan tuntutan zaman. Hal ini disebabkan oleh karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh sudah tidak mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang pada masa kitab-kitab fiqh itu ditulis oleh para fuqaha, dimana masalah baru yang berkembang saat ini belum terjadi.

Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan atau perubahan hukum Islam terjadi, oleh beberapa faktor:

  1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab fiqh tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat akan hukum yang baru sangat mendesak untuk diterapkan.
  2. Pengaruh glonalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya.
  3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum Nasioanal.
  4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid tingkat Nasioanal dan Internasioanal.

Perubahan ini sejalan dengan teori Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang dikemukakan oleh Imam Syafi’I, bahwa hukum juga dapat berubah, karena perubahannya dalil hukum yang ditetapkan pada peristiwa tertentu dalam melaksanakan Maqasyidus syari’ah. Perubahan hukum perlu dilaksanakan secara terus menerus karena hasil ijtihad selalu bersifat relative, itulah sebabnya jawaban terhadap masalah baru senantiasa harus bersifat baru pula, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran dan Sunnah.[8]

Menurut DR Yusuf al-Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan untuk dilaksanakan dalam menghadapi era globalisasi saat ini yaitu:

Ijtihad Intiqa’I, ialah meneliti ulang hasil ijtihad para ulama dahulu dan secara komprehensif membandingkan dan mengambil pendapat yang kuat sesuai dengan kriteria dan kaidah tarjih dan alat pengukurnya. Alat-alat pengukur pentarjihan selain yang telah kita tetapkan, yakni dalil yang kuat, juga pendapat itu:
1.sesuai dengan jaman diperlakukannya.
2.sesuai dengan arti rahmatan li al-’alamin.
3.sesuai dengan prinsip taisir (kemudahan).
4. sesuai dengan kemaslahatan.

Ijtihad Insya’I, yakni mengambil konklusi pendapat baru dalam persoalan baru yang belum pernah dikemukakan oleh mujtahid lain. Seperti dalam menghadapi masalah pentingnya penggunaan foto sebagai jati diri. Ada yang menganggap foto itu gambar. Padahal, ada Hadits yang melarang orang menggambar. Maka, ada pendapat baru bahwa foto itu bukan gambar yang dilarang. Karena Nabi melarang gambar membuat bandingan makhluk allah. Sedang foto adalah bayangan refleksi seperti dalam kaca, dan bayangan itu dengan alat modern direfleksikan dalam kertas. Di Qatar, foto itu disebut ‘aks (bayangan). Tukang foto disebut ’akkas. Seperti itu pendapat Syeikh Muh. Bakhit Al Mu’thi.
Jadi, dalam menghadapi masalah kontemporer, kita memang harus berpikir dan melakukan penelitian dan percobaan awal sebagai realisasi ijtihad.[9]

Sehubungan dengan metode ijtihad insya’i ini agar pelaksanaannya efektif dan menghasilkan suatu hokum yang dapat menyelesaikan suatu masalah maka perlu ditegakan ijtihad kolektif (jama’i) karena adanya tutuntan jaman , masalah-masalah terkait dan perelisihan bebagai mazhab. Istihad jama’I memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam pembaharuan hokum islam yang di perlukan oleh umat islam pada abad modern ini. Adapun urgensi diantaranya adalah :

1). Menerapkan prinsip syura

2). Lebih seksama dan akurat karena bisa saling memberi, melengkapi, bekerjasama antar ulama mujhahid dan para pakar dari berbagai disiplin ilmu

3). Dapat mengerti posisi ijma’ dalam arti mampu menggantikan kedudukan system tasyri’ yang untuk saat ini tidak lagi dapat diterapkan karena alasan tidak berfungsinya ijma’ dan ijtihad dalam waktu yang bersamaan, dalam keadaan ini ijtihad jamai akan mengembalikan fitalitas dalam potensi fiqih untuk menghadapi segala kesulitan yang dihadapi.

4). Mengatur ijtihad dan menghindari kebuntuannya.

5). Melindungi ijtihad dari berbagai ancaman yaitu ancaman dari orang-orang yang menjual agama, penerbitan buku-buku dengan fatwa dusta, mendekatkan masyarakat kepada orang-orang durjana dan mengabdi pada musuh-musuh islam.

6). Merupakan solusi bagi permasalahan baru, dimana sekarang masyarakat hidup dalam suasana yang tidak jelas arahnya, banyak permasalahan fenomena yang timbul dan belum pernah terjadi sebelumnya sebagai solusinya perlu dilakukan ijtihad.

7). Merupakan jalan untuk menyatukan umat, sebagaimana diketahui bahwa umat islam sangat mendambakan terciptanya kesamaan persepsi dan kesatuan cara pandang memecahkan segala masalah yang dihadapinya.

8) Mewujudkan sikap saling melengkapi antar berbagai pendapat para ahli dalam mengambil suatu pendapat hukum.[10]

Hak kEbendAan

00.38 Edit This 1 Comment »

Asas-asas Hak Kebendaan:

1. Asas system tertutup, artinya bahwa hak-hak atas benda bersifat limitative, terbatas hanya pada yang diatur undang-undang. Di luar itu dengan perjanjian tidak diperkenankan menciptakan hak-hak yang baru

  1. Asas hak mengikuti benda/zaaksgevolg, droit de suite, yaitu hak kebendaan selalu mengikuti bendanya di mana dan dalam tangan siapapun benda itu berada.

Asas ini berasal dari hukum romawi yang membedakan hukum harta kekayaan (vermogensrecht) dalam hak kebendaan (zaakkelijkrecht) dan hak perseorangan (persoonlijkrecht).

  1. Asas publisitas, yaitu dengan adanya publisitas (openbaarheid) adalah pengumuman kepada masyarakat mengenai status pemilikan.

Pengumuman hak atas benda tetap/tanah terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah/register yang disediakan untuk itu sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan nyata benda itu.

  1. Asas spesialitas

Dalam lembaga hak kepemilikan hak atas tanah secara individual harus ditunjukan dengan jelas ujud, batas, letak, luas tanah. Asas ini terdapat pada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas benda tetap.

  1. Asas totalitas

Hak pemilikan hanya dapat diletakan terhadap obyeknya secara totalitas dengan perkataan lain hak itu tidak dapat diletakan hanya untuk bagian-bagian benda.

Misalnya:

Pemilik sebuah bangunan dengan sendirinya adalah pemilik kosen, jendela, pintu dan jendela bangunan tersebut. Tidak mungkin bagian-bagian tersebut kepunyaan orang lain.

  1. Asas accessie/asas pelekatan

Suatu benda biasanya terdiri atas bagian-bagian yang melekat menjadi satu dengan benda pokok seperti hubungan antara bangunan dengan genteng, kosen, pintu dan jendela

Asas ini menyelesaikan masalah status dari benda pelengkap (accessoir) yang melekat pada benda pokok (principal).

Menurut asas ini pemilik benda pokok dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda pelengkap. Dengan perkataan lain status hukum benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok.

Benda pelengkap itu terdiri dari bagian (bestanddeed) benda tambahan (bijzaak) dan benda penolong (hulpzaak).

  1. Asas pemisahan horizontal

KUHPerdata menganut asas pelekatan sedang UUPA menganut asas horizontal yang diambil alih dari hukum Adat.

Jual beli hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang terdapat di atasnya.

Jika bangunan dan tanaman akan mengikuti jual beli hak atas tanah harus dinyatakan secara tegas dalam akta jual beli.

Pemerintah menganut asas vertical untuk tanah yang sudah memiliki sertifikat untuk tanah yang belum bersertifikat menganut asas horizontal (Surat menteri pertanahan/agraria tanggal 8 Februari 1964 Undang-Undang No.91/14 jo S.Dep. Agraria tanggal 10 desember 1966 No. DPH/364/43/66.

  1. Asas dapat diserahkan

Hak pemilikan mengandung wewenang untuk menyerahkan benda.

Untuk membahas tentang penyerahan sesuatu benda kita harus mengetahui dulu tentang macam-macam benda karena ada bermacam-macam benda yang kita kenal seperti tidak dijelaskan pada Bab sebelumnya.

Cara-cara penyerahan secara mendalam akan dibahas dalam Bab selanjutnya.

  1. Asas perlindungan

Asas ini dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu perlindungan untuk golongan ekonomi lemah dan kepada pihak yang beritikad baik (to goeder trouw) walaupun pihak yang menyerahkannya tidak wenang berhak (beschikkingsonbevoegd). Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 1977 KUHPerdata.

  1. Asas absolute (hukum pemaksa)

Menurut asas ini hak kebendaan itu wajib dihormati atau ditaati oleh setiap orang yang berbeda dengan hak relative

Cara untuk memperoleh hak kebendaan, seperti:

a. Melalui Pengakuan

Benda yang tidak diketahui siapa pemiliknya (res nullius) kemudian didapatkan dan diakui oleh seseorang yang mendapatkannya, dianggap sebagai pemiliknya.

Contohnya, orang yang menangkap ikan, barang siapa yang mendapat ikan itu dan kemudian mengaku sebagai pemiliknya, dialah pemilik ikan tersebut. Demikian pula halnya dengan berburu dihutan, menggali harta karun dsb.

b. Melalui Penemuan

Benda yang semula milik orang lain akan tetapi lepas dari penguasaannya, karena misalnya jatuh di perjalanan, maka barang siapa yang menemukan barang tersebut dan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya, menjadi pemilik barang yang diketemukannya. Contoh ini adalah aplikasi hak bezit.

c. Melalui Penyerahan

Cara ini yang lazim, yaitu hak kebendaan diperoleh melalui penyerahan berdasarkan alas hak (rechts titel) tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa, hibah warisan dlsb Dengan adanya penyerahan maka titel berpindah kepada siapa benda itu diserahkan.

d. Dengan Daluarsa

Barang siapa menguasai benda bergerak yang dia tidak ketahui pemilik benda sebelumnya (misalnya karena menemukannya), hak milik atas benda itu diperoleh setelah lewat waktu 3 tahun sejak orang tersebut menguasai benda yang bersangkutan. Untuk benda tidak bergerak, daluwarsanya adalah :

- jika ada alas hak, 20 tahun

- jika tidak ada alas hak, 30 tahun

e. Melalui Pewarisan

Hak kebendaan bisa diperoleh melalui warisan berdasarkan hukum waris yang berlaku, bisa hukum adat, hukum Islam atau hukum barat.

f. Dengan penciptaan

Seseorang yang menciptakan benda baru, baik dari benda yang sudah ada maupun samasekali baru, dapat memperoleh hak milik atas benda ciptaannya itu. Contohnya orang yang menciptakan patung dari sebatang kayu, menjadi pemilik patung itu, demikian pula hak kebendaan tidak berwujud seperti hak paten, hak cipta dan lain sabagainya.

g. Dengan Cara Ikutab/Turunan

Seseorang yang membeli seekor sapi yang sedang bunting maka anak sapi yang dilahirkan dari induknya itu menjadi miliknya juga. Demikian pula orang yang membeli sebidang tanah, ternyata diatas tanah itu kemudian tumbuh pohon durian, maka pohon durian itu termasuk milik orang yang membeli tanah tersebut.

Hak kebendaan dapat hapus / lenyap karena hal:

a. Bendanya lenyap/Musnah

Karena musnahnya sesuatu benda, maka hak atas benda tersebut ikut lenyap, misalnya hak sewa atas sebuah rumah yang habis/musnah ketimbun longsoran tanah gunung, menjadi musnah juga. Atau, hak gadai atas sebuah sepeda motor, ikut habis apabila barang tersebut musnah karena kebakaran .

b. Karena dipindah Tangankan

Hak milik, hak memungut hasil atau hak pakai menjadi hapus bila benda yang bersangkutan dipindah tangankan kepada orang lain.

c. Karena Pelepasan Hak

Dalam hal ini pada umumnya pelepasan yang bersangkutan dilakukan secara sengaja oleh yang memiliki hak tersebut, seperti radio yang rusak dibuang ketempat sampah. Dalam hal ini maka halk kepemilikan menjadi hapus dan bisa menjadi hak milik orang lain yang menemukan radio tersebut.

d. Karena Kadaluarsa

Daluwarsa untuk barang tidak bergerak pada umumnya 30 tahun (karena ada alas hak), sedangkan untuk benda bergerak 3 tahun.

e. Karena Pencabutan Hak

Penguasa publik dapat mencabut hak kepemilikan seseorang atas benda tertentu, dengan memenuhi syarat :

- harus didasarkan suatu undang undang

- dilakukan untuk kepentingan umum (dengan ganti rugi yang layak)