Hukum Islam dan Perubahan Sosial

01.24 Edit This 0 Comments »

Hukum Islam dan Perubahan Sosial

I. Perubahan Sosial

Istilah adaptabilitas, segera berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial. Perubahan sosial disini jelas bukan merupakan istilah teknis yang “tranformasi sosial” istilah ini lebih diperguanakan dalam pengertian umum untuk menandai bahwa perubahan dalam persoalan itu telah terjadi dalam rangka merespon kebutuhan-kebutuhan sosial.[1]

Kebutuhan-kebutuhan sosial yang berhubungan dengan hukum misalnya, sangat terkait dengan dua aspek kerja hukum dalam hubungannya dengan perubahan sosial:

  1. Hukum sebagai sarana kontrol sosial: sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang atau masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan harapan hukum yang sebenarnya.
  2. Hukum sebagai sarana kontrol engineering : penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita dan perubahan yang diinginkan.[2]

Suatu perubahan dapat diketahui jika ada sebuah penelitian dari susunan kehidupan masyarakat pada suatu waktu dengan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, lapisan-lapisan dalam masyarakat dsb.

Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Dapat dikatakan kalau konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan, (2) pada waktu berbeda, dan (3) diantara keadaan system sosial yang sama.[3]

Sebagai suatu pedoman, maka dapat dirumuskan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[4]

II. Perubahan Dalam Hukum Islam

Hubungan teori hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu problem dasar bagi filsafat-filsafat hukum. Hukum yang karena memiliki hubungan dengan hukum-hukum fisik yang diasumsikan harus tidak berubah itu menghadapi tantangan perubahan sosial yang menuntut kemampuan adaptasi dirinya. Seringkali benturan perubahan sosial itu amat besar sehingga mempengaruhi konsep-konsep dan lembaga-lembaga hukum, yang karenanya menimbulkan kebutuhan akan filsafat hukum Islam.

Argumen bahwa konsep hukum Islam adalah absolute dan otoriter yang karenanya abadi, dikembangkan dari dua sudut pandang. Pertama mengenai sumber hukum Islam adalah kehendak Tuhan, yang mutlak dan tidak bisa berubah. Jadi hal ini pendekatan ini lebih mendekati problem konsep hukum dalam kaitan perbedaan antara akal dan wahyu. Yaitu: (1) hukum dan teologi, (2) hukum dan epistemology. Sudut pandang kedua berasal dari difinisi hukum Islam, bahwa hukum Islam tidak dapat diidintifikasi sebagai system aturan-aturan yang bersifat etis atau moral. Jadi hal ini membicarakan kaitan perbedaan antara hukum dan moralitas.

Argumen-argumen yang dikemukakan oleh para pendukung keabadian Islam diringkaskan dalam tiga pernyataan umum:

  1. Hukum Islam adalah abadi karena konsep hukum yang bersifat otoriter, ilahi dan absolute dalam Islam tidak memperoleh perubahan dalam konsep-konsep dan institusi-institusi hukum. Sebagai konsekuwensi logis dari konsep ini, maka sanksi yang diberikannya bersifat ilahiyah yang karenanya tidak bisa berubah.
  2. Hukum Islam adalah abadi karena sifat asal dan perkembangannya dalam priode pembentukannya menjauhkannya dari institusi-institusi hukum dan perubahan sosial, pengadilan-pengadilan dan Negara.
  3. Hukum Islam adalah abadi karena ia tidak mengembangkan metodologi perubahan hukum yang memadai.[5]

Dalam literature hukum Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekontruksi, rekontruksi, tarjid, islah dan tajdid. Diantara kata-kata itu yang paling banyak digunakan adalah kata-kata islah, reformasi, dan tajdid. Islah dapat diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki, reformasi berarti membentuk atau menyusun kembali, tajdid mengandung arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyususn kembali atau memperbaikinya agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan.[6]

Masyarakat senantiasa mengalami perubahan, dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, social ekonomi dan lainnya. Menurut para ahli linguistic dan sematik, bahasa akan mengalami perubahan sehingga diperlukan usaha atau ijtihad. Tentu kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti. Namun, ini berarti bahwa hukum tidak akan berubah begitu saja, tanpa memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber utama hukum islam yaitu al-Quran dan Sunnah. Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah dilaksanakan dari masa ke masa.[7]

Pendekatan secara historis, untuk memahami sifat dasar hukum Islam telah menyatakan hal-hal sebagai berikut, sebagai ciri khas hukum Islam:

  1. Sifat idealistik
  2. Religious
  3. Kekakuan
  4. Sifat kausistik

III. Ijtihad, ( Intiqa’I dan Insya’I )

Pembaruan hukum Islam telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta dengan tuntutan zaman. Hal ini disebabkan oleh karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh sudah tidak mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang pada masa kitab-kitab fiqh itu ditulis oleh para fuqaha, dimana masalah baru yang berkembang saat ini belum terjadi.

Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan atau perubahan hukum Islam terjadi, oleh beberapa faktor:

  1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab fiqh tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat akan hukum yang baru sangat mendesak untuk diterapkan.
  2. Pengaruh glonalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya.
  3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum Nasioanal.
  4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid tingkat Nasioanal dan Internasioanal.

Perubahan ini sejalan dengan teori Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang dikemukakan oleh Imam Syafi’I, bahwa hukum juga dapat berubah, karena perubahannya dalil hukum yang ditetapkan pada peristiwa tertentu dalam melaksanakan Maqasyidus syari’ah. Perubahan hukum perlu dilaksanakan secara terus menerus karena hasil ijtihad selalu bersifat relative, itulah sebabnya jawaban terhadap masalah baru senantiasa harus bersifat baru pula, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran dan Sunnah.[8]

Menurut DR Yusuf al-Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan untuk dilaksanakan dalam menghadapi era globalisasi saat ini yaitu:

Ijtihad Intiqa’I, ialah meneliti ulang hasil ijtihad para ulama dahulu dan secara komprehensif membandingkan dan mengambil pendapat yang kuat sesuai dengan kriteria dan kaidah tarjih dan alat pengukurnya. Alat-alat pengukur pentarjihan selain yang telah kita tetapkan, yakni dalil yang kuat, juga pendapat itu:
1.sesuai dengan jaman diperlakukannya.
2.sesuai dengan arti rahmatan li al-’alamin.
3.sesuai dengan prinsip taisir (kemudahan).
4. sesuai dengan kemaslahatan.

Ijtihad Insya’I, yakni mengambil konklusi pendapat baru dalam persoalan baru yang belum pernah dikemukakan oleh mujtahid lain. Seperti dalam menghadapi masalah pentingnya penggunaan foto sebagai jati diri. Ada yang menganggap foto itu gambar. Padahal, ada Hadits yang melarang orang menggambar. Maka, ada pendapat baru bahwa foto itu bukan gambar yang dilarang. Karena Nabi melarang gambar membuat bandingan makhluk allah. Sedang foto adalah bayangan refleksi seperti dalam kaca, dan bayangan itu dengan alat modern direfleksikan dalam kertas. Di Qatar, foto itu disebut ‘aks (bayangan). Tukang foto disebut ’akkas. Seperti itu pendapat Syeikh Muh. Bakhit Al Mu’thi.
Jadi, dalam menghadapi masalah kontemporer, kita memang harus berpikir dan melakukan penelitian dan percobaan awal sebagai realisasi ijtihad.[9]

Sehubungan dengan metode ijtihad insya’i ini agar pelaksanaannya efektif dan menghasilkan suatu hokum yang dapat menyelesaikan suatu masalah maka perlu ditegakan ijtihad kolektif (jama’i) karena adanya tutuntan jaman , masalah-masalah terkait dan perelisihan bebagai mazhab. Istihad jama’I memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam pembaharuan hokum islam yang di perlukan oleh umat islam pada abad modern ini. Adapun urgensi diantaranya adalah :

1). Menerapkan prinsip syura

2). Lebih seksama dan akurat karena bisa saling memberi, melengkapi, bekerjasama antar ulama mujhahid dan para pakar dari berbagai disiplin ilmu

3). Dapat mengerti posisi ijma’ dalam arti mampu menggantikan kedudukan system tasyri’ yang untuk saat ini tidak lagi dapat diterapkan karena alasan tidak berfungsinya ijma’ dan ijtihad dalam waktu yang bersamaan, dalam keadaan ini ijtihad jamai akan mengembalikan fitalitas dalam potensi fiqih untuk menghadapi segala kesulitan yang dihadapi.

4). Mengatur ijtihad dan menghindari kebuntuannya.

5). Melindungi ijtihad dari berbagai ancaman yaitu ancaman dari orang-orang yang menjual agama, penerbitan buku-buku dengan fatwa dusta, mendekatkan masyarakat kepada orang-orang durjana dan mengabdi pada musuh-musuh islam.

6). Merupakan solusi bagi permasalahan baru, dimana sekarang masyarakat hidup dalam suasana yang tidak jelas arahnya, banyak permasalahan fenomena yang timbul dan belum pernah terjadi sebelumnya sebagai solusinya perlu dilakukan ijtihad.

7). Merupakan jalan untuk menyatukan umat, sebagaimana diketahui bahwa umat islam sangat mendambakan terciptanya kesamaan persepsi dan kesatuan cara pandang memecahkan segala masalah yang dihadapinya.

8) Mewujudkan sikap saling melengkapi antar berbagai pendapat para ahli dalam mengambil suatu pendapat hukum.[10]

0 komentar: